Kamis, 13 Oktober 2011

Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

I. Pendahuluan
Perkembangan tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang terus berkembang, juga berpengaruh pada perkembangan dunia usaha. Iklim usaha semakin mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini juga diikuti dengan kemajuan di bidang teknologi, yang mengakibatkan semakin mutakhirnya teknologi yang digunakan oleh kalangan dunia usaha tersebut.
Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat ditandai dengan munculnya berbagai perusahaan yang berskala produksi besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Bidang-bidang usaha yang tersedia juga semakin banyak sehingga semakin membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Apalagi didukung dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah, yang menyebabkan daerah-daerah juga turut berlomba-lomba untuk memajukan dirinya dengan cara memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi di daerahnya.
Kemajuan yang seperti ini tentunya membawa dampak yang positif bagi perkembangan dunia investasi dan bisnis di Indonesia. Selain itu turut berperan serta dalam peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, yang sangat disayangkan, tidak jarang perusahaan-perusahaan yang ada terlalu terfokus kepada kegiatan ekonomi dan produksi yang mereka lakukan, sehingga melupakan keadaaan masyarakat di sekitar wilayah beroperasinya dan juga melupakan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Padahal, sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28H ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:
 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Hak yang sama juga diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:
 Ayat (2)
Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
Ayat (3)
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
 Dari kedua aturan hukum tersebut dapat dilihat dengan jelas, bahwa masyarakat memiliki hak akan kehidupan sosial yang baik dan atas lingkungan hidup yang sehat. Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup juga diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut:
 Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Di lain pihak, seiring dengan perkembangan jaman, juga mendorong masyarakat untuk menjadi semakin kritis dan menyadari hak-hak asasinya, serta berani mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan suatu entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
Hal yang sama juga terjadi pada aspek lingkungan hidup, yang menuntut perusahaan untuk lebih peduli pada lingkungan hidup tempatnya beroperasi.
Sebagaimana hasil KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brasil, pada tahun 1992, yang menegaskan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) sebagai suatu hal yang bukan hanya menjadi kewajiban negara, namun juga harus diperhatikan oleh kalangan korporasi. Konsep pembangunan berkelanjutan menuntut korporasi, dalam menjalankan usahanya, untuk turut memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Ketersediaan dana;
2. Misi lingkungan;
3. Tanggung jawab sosial;
4. Terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah);
5. Mempunyai nilai keuntungan/manfaat).
Kemudian, di dalam Pertemuan Yohannesburg pada tahun 2002, memunculkan suatu prinsip baru di dalam dunia usaha, yaitu konsep Social Responsibility
Berawal dari munculnya suatu konsep dalam bidang korporasi untuk memperhatikan aspek lingkungan dan sosialnya, maka dalam memo ini akan dibahas mengenai penerapan prinsip tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh perusahaan, termasuk dengan regulasinya.


II. Dasar Hukum
 1. ISO 2006: Guidance Standard on Social Responsibility;
2. Undang-Undang Dasar 1945;
3. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5. UU RI No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
6. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
7. Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
  
III. Pembahasan
Substansi keberadaan Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan (Corporate Social Responsibility; selanjutnya disebut CSR), adalah dalam rangka memperkuat kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasioal, maupun global. Di dalam pengimplementasiaannya, diharapakan agar unsur-unsur perusahaan, pemerintah dan masyarakat saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR dapat diwujudkan secara komprehensif, sehingga dalam pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawabannya dapat dilaksanakan bersama.
Pada bulan September tahun 2004, International Organization for Standardization atau ISO), sebagai induk organisasis standardisasi internasional berhasil menghasilkan panduan dan standardisasi untuk tanggung jawab sosial, yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 menjadi standar pedoman untuk penerapan CSR. ISO 26000 mengartikan CSR sebagai tanggung jawab suatu organisasi yang atas dampak dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder
3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional
4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
Di dalam ISO 2006, CSR mencakup 7 (tujuh) isu pokok, yaitu:
1. Pengembangan masyarakat;
2. Konsumen;
3. Praktek kegiatan institusi yang sehat;
4. Lingkungan;
5. Ketenagakerjaan;
6. Hak Asasi Manusia;
7. Organizational Governance (Organisasi Kepemerintahan).
Berdasarkan konsep ISO 26000, maka untuk penerapan CSR hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan yang mencakup 7 (tujuh) isu pokok di atas. Prinsip-prinsip dasar CSR yang menjadi dasar pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan CSR menurut Iso 26000 meliputi:
1. Kepatuhan kepada hukum;
2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional;
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya;
4. Akuntabilitas;
5. Transparansi;
6. Perilaku yang beretika;
7. Melakukan tindakan pencegahan;
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia.
Di Indonesia sendiri, munculnya Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menandai babak baru pengaturan CSR. Selain itu, pengaturan tentang CSR juga tercantum di dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Walaupun sebenarnya pembahasan mengenai CSR sudah dimulai jauh sebelum kedua undang-undang tersebut disahkan. Salah satu pendorong perkembangan CSR yang terjadi di Indonesia adalah pergeseran paradigma dunia usaha yang tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial.
Adapun pengaturan CSR di dalam UU PT adalah sebagai berikut:
 Pasal 74:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan pengaturan di dalam UU PM, yaitu di dalam Pasal 15 huruf b adalah sebagai berikut:
Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
 Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d UU PM disebutkan sebagai berikut:
 Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.”
 Namun demikian, pengaturan CSR di dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia tersebut masih menciptakan kontroversi dan kritikan. Kalangan pebisnis CSR dipandang sebagai suatu kegiatan sukarela, sehingga tidak diperlukan pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Ketua Umum Kadin, Mohammad S. Hidayat, CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, sehingga jika diatur akan bertentangan dengan prinsip kerelaan dan akan memberikan beban baru kepada dunia usaha.
Di lain pihak, Ketua Panitia Khusus UU PT, Akil Mochtar menjelaskan bahwa kewajiban CSR terpaksa dilakukan karena banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. Selain itu kewajiban CSR sudah diterapakan pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mewajibkan BUMN untuk memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban ini diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengang BUMN.
Pada kenyataannya, memang dapat kita lihat berbagai kasus pencemaran atau kerusakaan lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaan kurang bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya dan konflik antara perusahaan dengan masyrakat di sekitarnya, karena kurang memperhatikan keadaan masyarakat tersebut. Beberapa kasus tersebut diantaranya adalah: kasus lumpur Lapindo di Porong, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, konflik antara masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun.
Berdasarkan atas munculnya berbagai aktivitas perusahaan yang tidak bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya dan terjadinya konflik dengan masyarakat sekitarnya, maka pemerintah memberikan pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan di dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Dengan diaturnya CSR di dalam peraturan perundang-undangan, maka CSR kini menjadi tanggung jawab yang bersifat legal dan wajib. Namun, dengan asumsi bahwa kalangan bisnis akhirnya bisa menyepakati makna sosial yang terkandung di dalamnya, gagasan CSR mengalami distorsi yang serius, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai sebuah tanggung jawab sosial, dengan adanya pengaturan CSR, maka mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yaitu sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Dengan mewajibkan CSR, maka memberikan batasan kepada ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.
2. Dengan adanya kewajiban tersebut, maka CSR bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR
hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
3. Tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lahi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (menurut UU Lingkungan Hidup).
4. Dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal program CSR. Di sini, masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran.
Terlepas dari berbagai konflik yang membayangi pengaturan mengenai CSR di dalam peraturan perundang-undangan nasional, CSR merupakan suatu konsep yang penting untuk dilaksanakan oleh perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan timbal balik yang saling sinergis antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Perusahaan yang telah beroperasi di suatu wilayah tertentu, memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan tersebut, salah satunya dengan cara melakukan sistem pengolahan limbah yang baik. Selanjutnya, perusahaan juga seharusnya turut berperan serta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, antara dengan cara pemberian pelatihan keterampilan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat tersebut.
Pada umumnya implementasi CSR di perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Komitmen pimpinan perusahaan
Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan mempedulikan aktivitas sosial.
2. Ukuran dan kematangan perusahaan
Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan berarti perusahaan menengah, kecil, dan belum mapan tersebut tidak dapat menerapkan CSR.
3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah
Semakin meluasnya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau semaikin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Di dalam prakteknya, penerapan CSR disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan CSR sangat beragam. Hal ini bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan CSR di Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang sangat memberikan perhatian terhadap pelaksanaan CSR, yaitu: Indonesia Business Link (IBL), Corporate Forum for Community Development (CFCD), dan Business Watch Indonesia (BWI).
Dalam rangka menciptakan kemajuan pelaksanaan konsep CSR, harus didukung oleh peranan pemerintah, baik sebagai partisipan, convenor, atau fasilisator, dan sebagainya. Masyarakat juga dapat turut serta mendukung konsep CSR, yaitu dengan cara memberikan informasi, saran, dan masukan atau pendapat untuk menentukan program yang akan dilakukan.
Sebenarnya, jauh sebelum CSR diatur di dalam UU PT dan UU PM, beberapa perusahaan telah dengan aktif melaksanakan CSR, antara lain yaitu:
1. PT. Unilever Indonesia, Tbk. Mengadakan program kali bersih Sungai Brantas;
2. PT. Avon Indonesia melakukan sosialisasi pencegahan kanker payudara;
3. PT. HM. Sampoerna memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa di berbagai sekolah dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

 IV. Kesimpulan
Pengaturan mengenai CSR di dalam UU PT dan UU PM masih perlu diperjelas dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainya, antara lain UU Lingkungan Hidup dan dengan instrumen hukum internasional yang terkait, diantaranya ISO 26000. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bias dalam pengertian dan standar pelaksanaan CSR. Selain itu agar kalangan dunia usaha dapat melaksanakan SCR secara lebih maksimal, sehingga tujuan dari penerapan CSR pada aspek-aspek sosial dan lingkungan dapat semakin berhasil dan mendatangkan manfaat, baik bagi perusahaan, masyarakat, lingkungan, dan negara.
Walaupun praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum, diharapkan dengan adanya pengaturan mengenai CSR di dalam UU PT dan UU PM, dapat mendorong dunia usaha untuk melaksanakan CSR secara lebih bertanggung jawab dan tidak memandang CSR sebagai suatu kewajiban yang memberatkan.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR secara lebih rinci, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 74 ayat (4) UU PT sebagai berikut:
 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
 Harus segera disahkan berlakunya. Sehingga perusahaan mempunyaiguidelines (pedoman) yang baku dalam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sesuai yang diamanatkan di dalam UU PT dan UU PM.






Sabtu, 17 September 2011

KARASTERISTIK LINGKUNGAN BISNIS GLOBAL DAN PERGESERAN PARADIGMA MANAJEMEN

BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menggambarkan karasteristik lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan masa kini dan masa depan. Oleh karena sekarang ini kita hidup di empat zaman sekaligus- zaman globalisasi ekonomi, zaman teknologi informasi, zaman strategic quality management, dan zaman Revolusi Manajemen- kita perlu memahami karasteristik setiap zaman tersebut dan dampaknya terhadap prinsip-prinsip manajemen.
Gambaran lingkungan bisnis masa depan yang diuraikan dalam bab ini disajikan untuk kepentingan pergeseran paradigma manajemen ke paradigma yang sesuai dengan lingkungan bisnis global tersebut. Paradigma inilah yang akan menjadi landasan untuk mendesain Sistem Pengendalian Manajemen agar sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan.

BAB II
KARASTERISTIK LINGKUNGAN BISNIS GLOBAL
A.         Zaman Globalisasi Ekonomi
1.                                              Proses Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi yang melanda Indonesia secara cepat membuka cakrawala baru bagi manajemen perusahaan Indonesia, yang semula hanya tertuju ke lingkungan domestik, menjadi terbuka ke lingkungan global. Manajemen perusahaan dipaksa untuk mengikuti perlombaan dalam menghasilkan produk/jasa dengan mengikuti aturan-aturan tingkat dunia. Keadaan ini memaksa manajemen perusahaan Indonesia untuk mengubah secara radikal prinsip-prinsip manajemen yang selama ini digunakan untuk menghasilkan produk bagi masyarakat.
a.    Mobilitas
Jika di masa lalu, hanya modal yang mengalir secara lancar di hampir seluruh pelosok dunia, globalisasi ekonomi sekarang telah memperluas proses mobilitas ke angkatan kerja (tenaga kerja) dan ide.
b.    Keserentakan
Perkembangan pesat telekomunikasi dan transportasi memungkinkan setiap perubahan di negara maju hampir secara serentak dapat diikuti oleh negara-negara lain.

c.       Pencarian jalan bebas hambatan
Proses pencarian jalan bebas hambatan menjadi semakin meluas dalam zaman globalisasi ekonomi. Setiap hambatan, baik yang disebabkan oleh monopoli atau peraturan pemerintah, dipecahkan oleh bisnis melalui pencarian jalan bebas hambatan. Monopoli pengiriman surat dan barang oleh pos dipecah oleh bisnis pengiriman surat dan barang seperti Federal Express.
d.      Kemajemukan
Zaman globalisasi ekonomi ditandai dengan meningkatnya proses kemajemukan yang menjadikan pusat tidak mampu lagi mengendalikan semua urusan. Dengan semakin turbulennya lingkungan bisnis, perusahaan-perusahaan memerlukan kecepatan respons terhadap setiap perubahan yang terjadi. Situasi demikian hanya dapat terjadi jika organisasi mendesentralisasikan wewenang pengambilan keputusan kepada pimpinan yang dekat dengan lingkungan bisnis yang dihadapinya.
2.                                              Gambaran Perubahan Lingkungan Bisnis di Zaman Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi berdampak terhadap 3C: Customer, Competition dan Change. Perusahaan-perusahaan dipaksa memasuki suatu daerah yang di dalamnya 3C tersebut mengalami perubahan yang sangat berbeda dengan keadaannya di masa yang lalu.

a.      Customer memegang kendali bisnis
Akibat globalisasi ekonomi, terjadi pergeseran kekuasaan dalam pasar. Keadaan yang sebelumnya produser yang menentukan produk dan jasa apa yang harus disediakan di pasar, berubah menjadi customer yang menentukan produk dan jasa apa saja yang mereka butuhkan, yang harus dipenuhi oleh produser.
b.      Kompetisi semakin tajam
Globalisasi ekonomi tidak hanya menambah jumlah pesaing di pasar, namun juga menyebabkan bervariasinya persaingan.
c.       Perubahan menjadi berubah
Jika di masa lalu orang hanya mengenal bahwa yang konstan di dunia ini adalah perubahan, sekarang perubahan pun telah mengalami perubahan menjadi konstan, pesat, radikal, serentak dan pervasif.
3.                                          Perubahan Logika Produser ke Logika Customer
Salah satu cara untuk mengubah jalan pikiran produser agar cocok dengan zaman yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis ini adalah dengan memahami perbedaan logika produser dan logika consumer. Berikut ini disajikan perbedaan logika produser dan logika consumer menurut Rosabeth Moss Kanter dalam bukunya yang berjudul World Class: Thriving Locally in the Global Economy

a.       Produsen berpikir bahwa mereka membuat produk. Consumer berpikir bahwa mereka membeli jasa.
b.      Produser menginginkan untuk memaksimumkan pengembalian (return) atas sumber daya yang mereka miliki. Customer memedulikan tentang apakah sumber daya yang digunakan oleh produser memberikan manfaat pada customer, bukan pada pemiliknya.
c.       Produser khawatir atas kekeliruan yang terlihat. Customer meninggalkan produser karena kekeliruan yang tidak terlihat.
d.      Produser berpikir bahwa teknologi mereka menciptakan produk. Customer berpikir bahwa kebutuhan merekalah yang menciptakan produk.
e.       Produser mengorganisir kegiatan untuk kenyamanan internal mereka. Customer menginginkan kenyamanan mereka yang diutamakan. 4.                                              Prinsip-prinsip Manajemen dalam Zaman Globalisasi Ekonomi
a.       Pusat tidak lagi berkuasa penuh. Organisasi tidak lagi mengandalkan keputusan terpusat di tangan manajemen puncak, namun memberdayakan karyawan untuk memungkinkan mereka mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka.
b.      Semua perusahaan akan menjadi perusahaan global dalam operasi bisnis mereka. Pasar domestik tidak hanya dilayani oleh perusahaan dalam negeri, namun dipenuhi kebutuhannya oleh perusahaan luar negeri.

c.    Perusahaan akan memfokuskan semua struktur dan proses sistem manajemen mereka ke customer.
d.   Karena lingkungan bisnis sangat turbulen, posisi kompetitif perusahaan hanya akan dicapai melalui improvement (perbaikan) berkelanjutan terhadap sistem dan proses yang digunakan oleh perusahaan untuk menghasilkan value bagi customer.
B.         Zaman Teknologi Informasi
1.                                               Lima Tren Sebagai Tanda Zaman Teknologi Informasi
a. Tren Pergeseran dari Hard Automation Technology ke Teknologi Informasi
Di dalam hard automation, apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya telah disetel dalam mesin sehingga hanya memerlukan pekerja terampil dan terdapat keterpisahan antara pekerja dan alat produksinya. Smart technology tidak menentukan apa yang harus dikerjakan oleh pekerja, apalagi menentukan bagaimana mengerjakannya. Contohnya komputer tidak akan berjalan kecuali ada perangkat lunaknya, namun itu juga tidak menghasilkan apapun jika pemakainya tidak mempunyai pengetahuan, ide atau kreatifitas yang dapat diolah dengan menggunakan perangkat lunak tersebut. Dengan demikian, smart technology hanya akan produktif jika dimanfaatkan oleh smart people atau sering disebut knowledge workers.

b.      Tren Pergeseran ke Knowledge-Based Works
Dengan semakin meluasnya smart technology dalam bisnis, semakin banyak knowledge workers yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dan jasa bagi customer. Produk dan jasa tersebut sangat ditentukan oleh kandungan pengetahuan yang dapat diwujudkan oleh personel melalui smart technology tersebut.
c.       Tren Pergeseran ke Responsibility-Based Organization
Kemampuan shared database oleh smart technology menuntut restrukturisasi organisasi dari komando dan pengendalian ke information-based organization. Dalam organisasi yang pengumpulan informasinya dipusatkan di bawah penguasaan manajemen puncak, keputusan hanya dapat dilakukan oleh manajemen puncak. Di dalam information-based organization, informasi yang dikumpulkan disimpan dalam database sehingga dapat diakses oleh siapa saja yang diberi wewenang untuk itu, sehingga memungkinkan siapa saja melakukan information-judgment dalam pengambilan keputusan.
d.      Perdagangan berjalan melalui jalan raya elektronik
Transaksi bisnis menjadi tidak lagi dilaksanakan melalui kertas, namun dilaksanakan dengan memanfaatkan shared database, electronic fund transfer, electronic data interchange dan electronic commerce (e- commerce).

e.               Kekayaan lebih banyak dihasilkan dari human assets dibandingkan dari financial assets
Sebagaimana diuraikan di atas, teknologi informasi hanya dapat produktif di tangan knowledge workers yang mendesain produk dan jasa sesuai kebutuhan customer secara cost effective dan memasarkan produk dan jasa tersebut secara efektif. Dengan demikian, produk dan jasa yang bersaing tersebut memiliki kandungan pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan customer.
f.        Intangible assets menjadi kekayaan perusahaan yang paling berharga Jika di masa lalu, tanah, mesin dan aktiva berwujud merupakan penghasil utama pendapatan perusahaan, dimasa sekarang ini aktiva tak berwujud seperti customer confidence, brand name, kecanggihan teknologi informasi, kapabilitas dan komitmen personel menjadi pemicu utama nilai pasar perusahaan.
2.                                               Prinsip-prinsip Manajemen dalam Zaman Teknologi Informasi
Prinsip-prinsip manajemen dalam zaman teknologi informasi dipengaruhi oleh dua faktor:
a. Dampak pendayagunaan knowledge workers terhadap prinsip manajemen - Organisai berkapabilitas untuk belajar dan berubah
- Pengendalian organisasi dengan mengurangi batas-batas vertikal (mengurangi jenjang fungsional) dan horizontal (melalui pendekatan lintas fungsional) sehingga kreativitas knowledge workers dapat terpacu.

- Sistem wewenang dimana manajer bertanggung jawab untuk melakukan pemberdayaan dan pelibatan knowledge workers dalam melakukan perbaikan berkelanjutan dalam organisasi perusahaan.
b. Dampak penyediaan fasilitas information sharing terhadap prinsip manajemen
Teknologi informasi memungkinkan untuk mewujudkan organisasi dengan jenjang yang lebih sedikit, memungkinkan hubungan antar organisasi perusahaan berjalan lebih cepat dan harmonis.
C.         Zaman Stategic Quality Management
1.                                              Evolusi Pandangan Produser terhadap Kualitas Produk dan Jasa
a.      Zaman inspeksi
Dalam zaman ini, kulaitas produk hanya terbatas pada atribut yang melekat pada produk. Oleh karena itu, kualitas hanya dipandang sebagai masalah yang berkaitan dengan produk rusak, cacat, atau penyimpangan yang terjadi dalam atribut yang melekat pada produk.
b.     Zaman pengendalian kualitas secara statistik
Jika di zaman sebelumnya kualitas produk hanya dideteksi melalui inspeksi atribut produk yang dihasilkan proses produksi, dalam zaman ini hasil deteksi yang menunjukkan penyimpangan signifikan secara statistik sudah mulai digunakan oleh Departemen Produksi untuk memperbaiki proses dan sistem yang digunakan untuk mengolah produk.

c.       Zaman jaminan kualitas
Dalam zaman ini konsep kualitas mengalami perluasan dari konsep yang sempit, hanya terbatas pada tahap produksi, ke tahap desain dan koordinasi dengan Departemen Jasa (seperti bengkel, energi, perencanaan, pengendalian produksi dan pergudangan).
d.      Zaman manajemen kualitas secara stategik
Penanganan kualitas dalam zaman ini mengakomodasi semmua unsur­unsur penanganan kualitas yang dikembangkan di zaman sebelumnya serta telah memasukkan keterlibatan setiap orang dalam organisasi dan kebutuhan customer.
2.                                                 Prinsip-prinsip Manajemen dalam Zaman Stategic Quality Management
a.      Penggunaan value-based strategy
Oleh karena kualitas telah menjadi kepentingan manajemen puncak samapi dengan karyawan, strategi yang dipilih peruhsaan tidak lagi diarahkan untuk semata-mata mengalahkan pesaing, namun untuk menghasilkan value terbaik bagi customer.
b.      Posisi kompetitif perusahaan dicapai melalui kinerja dan penerapan pengetahuan
Untuk menjadikan organissasi unggul dari pesaing, perusahaan menjadikan produktif pengetahuan yang dikuasai oleh karyawan. Di samping itu, untuk menjadi organisasi berbeda, manajemen harus menerapkan pengetahuan di dalam pengelolaan perusahaan.

D.         Zaman Revolusi Manajemen
1.                                                Tiga Revolusi Besar yang Berkaitan dengan Manajemen
a.       Revolusi Industri
Untuk pertama kalinya masyarakat menerapkan pengetahuan ke dalam alat, produk dan proses. Ditemukannya mesin uap, kemudian dengan tenaga listrik.
b.      Revolusi Produktivitas
Cara membuat produk yang dikuasai pengrajin saat itu hanya disebarkan kepada anggota keluarga melalui cara yang rahasia. Melalui penelitiannya, Taylor mendobrak keyakinan masyarakat bahwa pekerjaan bukan merupakan sesuatu yang rahasia, namun pekerjaan dapat dianalisis secara ilmiah dan dapat diajarkan secara ilmiah kepada semua orang.
c.       Revolusi Manajemen
Dalam proses pembuatan prosuk terdiri dari tiga proses utama: alat, pekerjaan dan manajemen. Faktor terakhir ini merupakan pengetahuan yang digunakan untuk memanfaatkan alat, pekerjaan dan faktor produksi lain untuk menghasilkan produk.

4.                                                Prinsip-prinsip Manajemen dalam Zaman Revolusi Manajemen
Matthew J. Kiernan membuat perbandingan manajemen abad ke-20 dengan manajemen abad ke-21 yang dibangun berdasarkan paradigma baru.
Manajemen masa lalu (abad ke-20)
Manajemen masa datang (abad ke-21)
Stabilitas, predictability
Perubahan tidak berkelanjutan
Ukuran dari skala ekonomi
Kecepatan dan kemampuan untuk merespons
Leadership dari puncak
Leadership dari setiap orang
Kekakuan organisasi
Fleksibilitas permanen
Pengendalian melalui aturan dan hierarki
Pengendalian melalui visi dan values
Informasi dijaga secara ketat
Information sharing
Analisis kuantitatif
Kreativitas dan intuisi
Kebutuhan tentang kepastian
Dapat menerima keraguan
Reaktif, penghindaran resiko
Proaktif, keberanian menanggung resiko
Independensi perusahaan
Saling ketergantungan antar perusahaan
Integrasi vertical
Virtual integration
Berfokus ke intern organisasi
Berfokus ke lingkungan kompetitif
Keunggulan kompetitif bertahan lama
Inovasi berkelanjutan keunggulan kompetitif
Bersaing dalam pasar yang telah ada
Bersaing dalam pasar masa depan

BAB III
PERGESERAN PARADIGMA MANAJEMEN
A. Tahap Pergeseran Paradigma
1.  Nomalcy
Dalam tahap ini, praktik-praktik manajemen mampu menyelesaikan masalah yang timbul karena kesesuaian antara praktik-praktik tersebut dengan paradigm manajemen yang digunakan.
2.  Anomali
Dalam tahap ini, berdasarkan pengamatan karasteristik lingkungan bisnis yang
dimasuki oleh berbagai perusahaan, dijumpai berbagai bukti yang bertentangan
dengan asumsi manajemen tentang lingkungan bisnis yang selama ini digunakan.
3.  Penggantian
Dalam tahap ini, paradigm yang sebelumnya digunakan untuk menjalankan bisnis diganti dengan paradigma baru yaitu paradigma yang dibangun atas dasar karasteristik lingkungan bisnis baru yang berhasil diamati.

B. Pergeseran Paradigma Manajemen yang Sedang Berlangsung Sekarang
1.      Customer Value Strategy
Oleh karena dalam lingkungan bisnis saat ini customer memegang kendali bisnis, maka manajemen perusahaan harus mengubah paradigma mereka kepada strategi penyediaan value terbaik bagi customer.
2.      Continous Improvement
Paradigma continous improvement adalah pandangan bahwa perusahaan hanya akan mampu bertahan dan bertumbuh dalam jangka panjang jika mampu secara berkelanjutan melakukan perbaikan terhadap sistem dan proses yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer
3.      Organizational System
Paradigma organizational system adalah pandangan bahwa perusahaan hanya akan mampu bertahan dan bertumbuh dalam jangka panjang jika sistem organisasi perusahaan harus didesaian sedemikian rupa sehingga memungkinkan secara berkelanjutan melakukan perbaikan terhadap sistem dan proses yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer.
C. Rerangka Pengembangan Ilmu dan Pengetahuan
Kita perlu menyadari bahwa perkembangan sains dan pengetahuan tidak melalui proses akumulasi, namun melalui pergeseran paradigm. Sains dan

pengetahuan dibangun atas dasar paradigma tertentu. Dulu, bumi dianggap rata dan datar seperti meja, kemudian diketahui bahwa ternyata bumi itu bulat seperti bola.
Kita sekarang berada dalam masa transisi reformasi prinsip-prinsip manajemen; perubahan manajemen yang didasarkan pada paradigma lama ke Total Quality Management yang didasarkan pada customer value, continuous improvement dan organizational system. Pengetahuan manajemen disusun kembali sehingga timbullah Revolusi Manajemen.
Sumber: Mulyadi, SPPM (Ed. 3, 2007), Kurniawan Tjakrawala, SPPM (Ed. 11, 2009) dan Supriyono, SPPM.